Ditjen Pajak Sebut PPN 12% Mulai 1 Januari 2025, Ekonom Waswas Penerimaan Anjlok
10 October 2024
Ekonom Indef Drajad Wibowo mengatakan efek dari kenaikan PPN menjadi 12% bukan akan mengerek penerimaan pajak, justru akan menurunkan total PPN yang diterima.
Bisnis.com, JAKARTA – Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak menyampaikan pemerintah akan melakukan implementasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% per 1 Januari 2025.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Dwi Astuti bahwa penyesuaian tarif PPN sebesar 1%, dari 11% menjadi 12%, akan mengikuti amanat Undang-Undang (UU) No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
“Mengenai waktu implementasinya, kami berpedoman pada amanat UU HPP, yaitu paling lambat 1 Januari 2025,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (9/10/2024).
Ditjen Pajak berpandangan bahwa PPN 12% akan memberikan manfaat yang lebih besar terhadap masyarakat dan memerkuat perekonomian negara, serta meningkatkan kualitas pelayanan publik.
Melalui kebijakan ini, dana yang terkumpul akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan berbagai program yang langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Padahal, Kementerian Keuangan sebelumnya mengumumkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 dirancang dengan berpedoman PPN 11%, bukan 12%.
Di mana penerimaan perpajaka, termasuk di dalamnya dari pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP), direncanakan senilai Rp2.490,9 triliun.
Dalam kesempatan lain, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Drajad Wibowo mengkhawatirkan efek dari kenaikan PPN bukan akan mengerek penerimaan, justru akan menurunkan total PPN yang diterima.
“Orang beli barang semakin dikit, konsumsi semakin sedikit, ujung-ujungnya PPN-nya juga akan terganggu. Itu kekhawatiran saya,” ungkapnya kepada media massa di Le Meridien, Rabu (9/10/2024).
Efek kenaikan akan terjadi bila semua orang melakukan belanja dan membayar PPN tersebut. Lain halnya bila dengan kenaikan tersebut, justru semakin sedikit orang yang melakukan spending.
“Sama seperti barang kalau dijual lebih mahal, orang yang beli makin dikit kan ujungnya penerimaan kita jeblok,” tegasnya.
Terlebih, apalagi dengan adanya fakta bahwa kelas menengah yang menurun. Hal lainnya, yakni tren deflasi berturut-turut sejak Mei 2024 turut mengancam konsumsi masyarakat.
Bukan hanya itu, salah satu penyebab jumlah kelas menengah turun adalah naiknya jumlah pekerja yang setengah menganggur menjadi 2,41 juta orang.
“Orang yang setengah menganggur ini udah jelas daya belinya rendah sekali. Udah jelas dia akan terlempar dari kelas menengah. Nah kalau dipaksakan PPN 12%, saya khawatir orang setengah menganggur makin banyak,” jelasnya.