DAMPAK INSENTIF PPH BUNGA OBLIGASI, AUM Reksa Dana Bisa Susut

10 September 2021

BisnisIndonesia, Ika Fatma Ramadhansari & Lorenzo Mahardhika, Jum’at, 10/09/2021 02:00 WIB

Bisnis, JAKARTA — Penerapan insentif keringanan Pajak Penghasilan (PPh) bunga obligasi untuk investor domestik dinilai dapat mengakibatkan reksa dana bakal kehilangan daya tariknya atau competitive advantage dalam jangka pendek.n

Bisnis, JAKARTA — Penerapan insentif keringanan Pajak Penghasilan (PPh) bunga obligasi untuk investor domestik dinilai dapat mengakibatkan reksa dana bakal kehilangan daya tariknya atau competitive advantage dalam jangka pendek.

Meski bertujuan baik, insentif ini dinilai berisiko bagi industri reksa dana dari sisi penurunan dana kelolaan atau asset under management (AUM). Pasalnya, kalangan investor institusi berpeluang untuk menarik dananya yang dikelola manajer investasi di dalam instrumen reksa dana.

Dilihat dari jenisnya, dampak kebijakan ini diperkirakan lebih terlihat pada reksa dana terproteksi.

“Yang paling terpengaruh adalah reksa dana terproteksi karena bagi investor institusi jadi tidak ada insentif pajaknya lagi, terlihat di tahun ini memang dana kelolaan reksa dana terproteksi terus menurun,” kata Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana kepada Bisnis, Kamis (9/9).

Wawan menjelaskan, sebelum adanya insentif PPh tersebut, investor institusi seperti asuransi cenderung lebih memiliki obligasi lewat reksa dana terproteksi karena pajaknya hingga tahun lalu masih berkisar 5%.

Namun mulai tahun ini, pajak obligasi di reksa dana telah meningkat menjadi 10%. Di sisi lain, pemerintah juga memberikan insentif PPh bunga obligasi untuk investor lewat penurunan tarif dari sebelumnya 15% menjadi 10%.

Hal ini, lanjut Wawan, akan membuat investor institusi lebih tertarik mengelola obligasi sendiri, daripada melalui reksa dana yang tentunya akan dikenai biaya manajemen oleh manajer investasi.

Dia menilai, reksa dana terproteksi saat ini hanya menarik untuk investor ritel. Hal itu karena minimal pembelian obligasi di luar reksa dana terkecuali obligasi ritel Indonesia (ORI) adalah Rp1 miliar.

“Jadi kalau uang saya di bawah Rp1 miliar dan menginginkan kinerja setara obligasi bisa lewat reksa dana terproteksi,” katanya.

Senada, Direktur Panin Asset Management Rudiyanto mengatakan insentif PPh bunga obligasi akan membuat sebagian investor memutuskan untuk berinvestasi langsung daripada lewat reksa dana.

Hal ini berpotensi memangkas dana kelolaan pada berbagai jenis instrumen. “Reksa dana terproteksi, pendapatan tetap, dan kemungkinan campuran yang investornya institusi ,” ujarnya.

Meski demikian, Rudiyanto mengaku pihaknya belum memiliki perkiraan potensi penurunan AUM industri reksa dana.

Dihubungi terpisah, Direktur Utama PT Trimegah Asset Management Antony Dirga menyampaikan hal serupa.

“Menurut kami, hilangnya tax break ini sebenarnya sehat untuk industri reksa dana dalam jangka panjang. Namun dalam jangka pendek hilangnya tax break ini akan menyebabkan reksa dana obligasi kehilangan competitive advantage-nya,” ungkap Antony.

Relaksasi PPh bunga obligasi itu dapat mengakibatkan redemption yang besar dari reksa dana obligasi dan menyebabkan turunnya dana kelolaan reksa dana di Tanah Air.

Mengutip data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jumlah dana kelolaan industri reksa dana per Agustus 2021 mencapai Rp542,54 triliun, tumbuh 0,75% secara bulanan dari posisi Juli yang berjumlah Rp538,48 triliun. Secara year to date, jumlah AUM reksa dana pada Agustus masih susut 5,4% dari posisi akhir Desember 2020 yang mencapai Rp573,54 triliun.

Adapun, sepanjang tahun ini, penghimpunan dana kelolaan reksa dana masih berfluktuasi. Koreksi terdalam terjadi pada Mei 2021 di saat AUM menyusut 5,58% menjadi Rp536,29 triliun.

Penurunan AUM yang terbesar antara lain pada jenis reksa dana terproteksi yang didorong oleh momentum penarikan dana haji oleh BPKH dari semua instrumen reksa dana.

Lebih lanjut, Antony mengatakan, salah satu dampak terbesar relaksasi PPh tersebut ke pasar obligasi adalah perpindahan tangan pemilik obligasi dari perbankan dan reksa dana ke investor ritel ataupun institusi lainnya.

Sementara itu, dampak untuk net additional demand yang real, yakni pengalihan uang yang sebelumnya untuk konsumsi menjadi investasi obligasi, menurutnya masih akan terbatas, khususnya dalam jangka pendek.

Dibandingkan dengan relaksasi PPh, faktor pertumbuhan pendapatan per kapita dinilai lebih berpengaruh untuk mendorong net additional demand. “Karena net additional demand yang terbatas dan relaksasi ini hanya memicu perpindahan kepemilikan, dampak terhadap pasar obligasi menurut kami adalah netral,” imbuhnya.

Jangka Panjang

Kendati demikian, untuk jangka panjang menurutnya tentu saja perluasan partisipasi kepemilikan obligasi akan berdampak positif untuk negara. Makin besar kepemilikan surat berharga negara (SBN) oleh investor ritel dan institusi dalam negeri tentunya mengurangi ketergantungan pada investor asing.

Namun, Antony mengingatkan bahwa meluasnya partisipasi investor ritel tersebut juga harus disertai pengawalan atau edukasi yang baik terhadap investor-investor baru.

Dia menilai investor ritel masih memiliki pengetahuan yang terbatas mengenai investasi obligasi dibandingkan dengan investor perbankan ataupun reksa dana yang sebelumnya biasa berinvestasi pada obligasi.

Antony menyebutkan, kurangnya edukasi untuk para investor ritel sebelumnya pernah mengakibatkan krisis di pasar obligasi di tahun 2005.

“Investor-investor baru ini harus mengerti resiko dalam berinvestasi pada obligasi, salah satunya tolak ukur durasi atau sensitivitas harga obligasi terhadap pergerakan suku bunga,” ujarnya.

Setali tiga uang, Direktur Avrist Asset Management Farash Farich menilai insentif keringanan PPh bunga obligasi secara umum akan memperluas basis investor obligasi pemerintah serta meningkatkan stabilitas instrumen reksa dana pendapatan tetap dan pasar SBN.

“Perluasan ini akan membuat harga tidak mudah bergerak terlalu fluktuatif karena faktor nonfundamental,” jelasnya.

Dia melanjutkan, investasi melalui reksa dana pendapatan tetap juga akan memudahkan investor mendapatkan insentif ini. Farash memaparkan, investor dapat berinvestasi di obligasi pemerintah dengan jumlah investasi tidak besar namun dengan biaya transaksi yang rendah. Menurutnya, insentif ini akan sulit diperoleh bila investor membeli SBN secara langsung.

Ke depannya, Farash mengatakan Avrist AM akan tetap mencari SBN yang menarik sesuai dengan profil produknya. Sejauh ini, Avrist AM masih melihat permintaan yang cukup tinggi dari investor untuk instrumen berbasis obligasi pemerintah.

Selain itu, pihaknya juga akan memberikan nilai tambah yang dapat diberikan kepada investor antara lain dari kinerja investasi yang lebih baik, manajemen risiko pasar dan risiko likuiditas.

“Kemudian, pilihan strategi seperti short atau long duration juga kami berikan kepada investor,” pungkasnya.