Efek Domino Pajak Sembako bagi Rakyat

16 September 2021

Dinda Audriene Muthmainah, CNN Indonesia | Kamis, 16/09/2021

Jakarta, CNN Indonesia — Menteri Keuangan Sri Mulyani secara resmi mengajukan  kebijakan pungutan pajak pertambahan nilai (PPN) atas barang kebutuhan pokok alias sembako kepada Komisi XI DPR RI pada Senin (13/9).
Rencana ini sebenarnya telah bocor publik sejak Juni 2021 lalu. Pemerintah menuliskan dalam dokumen atas revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Saat itu, banyak pihak yang kontra dengan pemerintah. Dari DPR, pedagang pasar, ekonom, ustadz, hingga organisasi keagamaan memberikan kritik pedas atas rencana pemerintah.

Mereka menolak rencana pengenaan PPN untuk barang sembako lantaran khawatir harga bahan pokok menjadi mahal. Situasi ini otomatis akan mengganggu proses pemulihan ekonomi setelah dihantam pandemi covid-19.

Sayang, berbagai kritikan itu tak menyurutkan niat pemerintah untuk mengenakan PPN terhadap barang sembako. Sri Mulyani, dalam pengajuannya ke DPR, mengatakan bahwa tak semua barang sembako akan dipungut pajak dan pemerintah juga berpeluang memberikan kompensasi bagi masyarakat tak mampu.

Pemerintah juga menyatakan bahwa PPN tak akan diberlakukan pada kebutuhan pokok yang dijual di pasar tradisional. PPN hanya akan berlaku pada bahan pokok premium, di mana harga jualnya jauh dari pasar tradisional.

Lantas, apakah pengenaan PPN barang sembako terhadap bahan pokok premium ini tak akan berdampak pada masyarakat kecil?

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan keputusan pemerintah untuk mengenakan PPN untuk sebagian bahan sembako berpotensi mengerek harga pangan di pasar tradisional.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sempat mengatakan perlakuan pajak untuk daging segar di pasar tradisional akan dibedakan dengan daging jenis wagyu yang konsumennya kelas menengah atas.

Dengan kata lain, pemerintah berpotensi mengenakan PPN untuk daging wagyu yang biasa dijual di supermarket. Jika benar-benar terjadi, maka harga daging akan naik.

Meski begitu, Yusuf menilai harga daging segar di pasar juga akan ikut naik. Dampak PPN sembako akan meluas ke pasar tradisional.

“Bisa saja pedagang berpikir, daging wagyu harga naik. Nah tidak apa-apa kalau saya menaikkan harga daging di pasar Rp1.000 atau Rp500. Toh, kenaikan tidak besar. Ada efek-efek seperti ini, efek psikologi pedagang,” ungkap Yusuf kepada CNNIndonesia.com, Rabu (15/9).

Jika harga daging segar di pasar tradisional naik, artinya masyarakat kelas menengah ikut terkena dampak dari pengenaan PPN terhadap barang sembako. Itu baru salah satu contoh. Yusuf memprediksi harga bahan pokok lainnya juga akan ikut naik.

“Ini perlu diantisipasi, kan tidak ada jaminan dari pemerintah bahwa kebijakan PPN tidak pengaruhi harga pangan keseluruhan,” kata Yusuf.

Bila harga pangan lainnya ikut naik, maka akan terjadi inflasi. Dengan demikian, beban yang dipikul masyarakat kecil untuk memenuhi kebutuhan pokoknya semakin berat.

Masyarakat kecil otomatis akan mengurangi konsumsinya untuk memangkas biaya pengeluaran mereka. Dampaknya, konsumsi rumah tangga berpotensi jeblok.

Konsumsi rumah tangga turun akan berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Maklum, konsumsi rumah tangga adalah komponen terbesar dalam pembentukan produk domestik bruto (PDB).

Artinya, kalau konsumsi turun, maka pertumbuhan ekonomi akan ikut melambat atau bahkan kembali minus.

Oleh karena itu, Yusuf mengingatkan pemerintah untuk tak melulu fokus pada penambahan objek pajak baru. Pemerintah seharusnya membenahi struktur ekonomi di Indonesia.

“Perbaiki struktur ekonomi secara keseluruhan, dalam hal ini manufaktur. Ketika kinerja manufaktur naik, maka PPN juga akan ikut naik,” terang Yusuf.

Ia mengaku belum menghitung potensi PPN yang akan masuk kantong pemerintah jika sembako benar-benar dikenakan pajak. Namun, Yusuf menilai mudarat dari PPN sembako akan lebih banyak ketimbang manfaat yang didapat pemerintah.

“Mungkin pemerintah bisa menarik pajak dari makanan mahal, tapi ada dampak muncul. Dampak ini bisa lebih besar atau mahal daripada potensi yang didapat pemerintah,” ujar Yusuf.

Sementara, Direktur Center of Economics and Law Studies Bhima Yudhistira sangsi bahwa pemerintah hanya akan mengenakan PPN untuk bahan sembako premium. Sebab, potensi penerimaan dari produk makanan premium tak akan signifikan.
“Masyarakat itu semakin naik pendapatannya, maka konsumsi makanan akan lebih sedikit karena lebih peduli kesehatan. Jadi potensi penerimaan dari PPN tak akan signifikan,” kata Bhima.

Maka itu, ia curiga objek PPN akan diperluas ke sembako yang biasa dikonsumsi masyarakat kelas menengah dan menengah bawah, atau yang biasa dijual di pasar tradisional. Pasalnya, potensi terbesar justru ada di bahan pokok yang sering dikonsumsi oleh masyarakat menengah ke bawah.

“Karena ujungnya yang dipajaki yang dikonsumsi kelas menengah, yang paling banyak dikonsumsi, karena pemerintah juga mempertimbangkan biaya PPN,” ucap Bhima.

Ia menjelaskan bahwa selalu ada biaya yang dikeluarkan pemerintah ketika menetapkan pajak pada suatu objek. Biaya itu meliputi petugas pajak, administrasi pajak, pengawasan, dan gaji petugas pajak yang diberikan tugas khusus untuk PPN sembako.

“Jadi berapa potensi penerimaan vs biaya yang dikeluarkan. Ujungnya yang kena kelas menengah, kalau kalau hanya sedikit yang dipajaki potensi tidak signifikan. Jadi rugi,” papar Bhima.

Jika ini terjadi, ia pun ikut mengamini pendapat Yusuf. Masyarakat otomatis akan mengurangi konsumsi mereka.

Imbasnya bukan hanya pada sektor makanan dan minuman (mamin), tetapi juga pada industri lain. Masyarakat akan menahan belanja baju atau furnitur demi bisa memenuhi kebutuhan pokoknya.

“Masyarakat akan mengurangi konsumsi barang lain, akan berimbas luas ke seluruh produsen. Bukan hanya makanan, tapi furnitur kena, pakaian jadi kena dampak, dan produsen otomotif, properti semua kena akibat PPN bahan makanan,” jelas Bhima.

Untuk itu, ia menyarankan agar pemerintah pikir-pikir lagi dalam merencanakan kebijakan PPN untuk bahan sembako. Terlebih, ekonomi Indonesia belum pulih sepenuhnya.

Masih banyak masyarakat yang terpuruk akibat pandemi covid-19. Sebagian ada yang usahanya bangkrut, terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), gaji dipotong, dirumahkan, dan menjadi pengangguran.

Jadi, pemerintah harus membuat kebijakan secara hati-hati. Lagi pula, Bhima menilai data pangan di Indonesia masih kacau.

Menurutnya, pemerintah harus bisa merinci terlebih dahulu mana saja bahan pokok premium, medium, dan yang biasa dikonsumsi masyarakat kecil sehari-hari. Hal ini agar pengenaan PPN sembako tepat sasaran.

“Harus ada pembenahan data pangan dulu, tanpa ada data yang akurat, maka kebijakan pajak ini akan salah sasaran,” tutup Bhima.