Penerapan Pajak Kekayaan untuk Orang Superkaya Jadi Solusi Kerek Pendapatan Negara?

17 October 2024

Kamis, 17 Oktober 2024

KONTAN.CO.ID –  JAKARTA . Pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, dipastikan membutuhkan anggaran besar untuk menjalankan program-program prioritas mereka.

Salah satunya adalah program makan bergizi gratis yang menjadi janji politik Prabowo. Namun, program ini akan membebani anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), yang sebagian besar masih mengandalkan penerimaan pajak.

Saat ini, rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) masih rendah, yaitu hanya 10,3%.

Di tengah rencana pemerintah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 dan target rasio pajak sebesar 23%, muncul kembali wacana pengenaan pajak kekayaan, terutama untuk orang-orang superkaya.

Pajak ini diusulkan sebagai solusi untuk menambah pendapatan negara, meskipun penerapannya diprediksi akan menimbulkan pro dan kontra.

Fuad Rahmany, mantan Dirjen Pajak Kemenkeu periode 2011-2014, menyatakan bahwa pajak kekayaan bagi orang superkaya dapat menjadi salah satu solusi di tengah melemahnya daya beli masyarakat kelas menengah.

 

“Harta bersih orang-orang superkaya ini terus naik tinggi, sedangkan kelas menengah semakin menurun,” ujar Fuad kepada KONTAN, Selasa (15/10). Namun, Fuad juga mengakui bahwa kebijakan ini perlu kajian yang komprehensif sebelum diterapkan.

Guru Besar Ilmu Kebijakan Pajak Universitas Indonesia (UI), Haula Rosdiana, menambahkan bahwa jika pajak kekayaan diberlakukan, pemerintah harus memastikan tidak terjadi pajak berganda.

“Salah satu objek dari pajak penghasilan adalah tambahan kekayaan yang belum dikenakan pajak, lantas apa bedanya dengan pajak kekayaan,” ujarnya.

Haula juga menjelaskan bahwa kekayaan berupa tanah dan bangunan sudah dikenakan pajak bumi dan bangunan (PBB), sementara kendaraan bermotor dikenakan pajak kendaraan.

Oleh karena itu, ia menegaskan perlunya riset mendalam sebelum memberlakukan pajak kekayaan agar tidak terjadi pajak berganda.

Sebuah kajian dari University of Greenwich, Prancis, memperkirakan bahwa pajak progresif atas kekayaan bersih dapat menghasilkan pendapatan sebesar 3% hingga 10,8% dari PDB.

 

Sementara itu, Lembaga Penelitian The Prakarsa memproyeksikan bahwa dengan tarif pajak sebesar 2%, potensi penerimaan pajak kekayaan bisa mencapai Rp 86,6 triliun.

Dari jumlah ini, 100 orang terkaya di Indonesia diperkirakan akan menyumbang Rp 55,7 triliun, sementara sisanya berasal dari sekitar 4.600 orang yang memiliki kekayaan di atas US$ 10 juta atau sekitar Rp 144 miliar.