REALISASI SETORAN PPN Nikmat Konsumsi Mana yang Kau Dustakan
03 June 2022
Tegar Arief
Jum’at, 03/06/2022
Hantu pandemi yang menggerogoti daya beli masyarakat selama lebih dari 2 tahun terakhir mulai menjauh. Di lain sisi, penebalan bantalan sosial mampu menguatkan fondasi konsumsi, kendati dihadapkan pada kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai.n
Kokohnya konsumsi itu tecermin dari value added tax (VAT) gross collection ratio, yang mengukur keberhasilan pemerintah dalam mengoptimalisasi pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Berdasarkan penghitungan Bisnis, VAT gross collection ratio pada kuartal I/2022 mencapai 85,99%.
Artinya, pemerintah berhasil memungut pajak dari konsumsi masyarakat mencapai 85,99% dari total potensi yang ada.
Angka tersebut dihitung dengan berdasar pada penerimaan PPN pada periode Januari—Maret 2022 yang mencapai Rp130,15 triliun dan konsumsi rumah tangga senilai Rp1.513,5 triliun, dengan basis tarif PPN sebesar 10%.
Tangguhnya daya pungut otoritas pajak linier dengan kondisi penerimaan PPN sepanjang tahun berjalan 2022.
Kementerian Keuangan mencatat, realisasi PPN hingga 26 Mei lalu mencapai Rp224,27 triliun, naik hingga 26,44% dibandingkan dengan periode Januari—Mei pada tahun lalu yang hanya Rp177,36 triliun.
Berkaca pada data ini, tak berlebihan apabila muncul klaim tingkat konsumsi masyarakat telah sepenuhnya pulih.
Tak bisa dimungkiri, siasat pemangku kebijakan yang mengucurkan banyak program perlindungan sosial mulai membuahkan hasil.
Kekhawatiran mengenai meroketnya harga energi dan sejumlah komoditas pangan nyatanya juga tertangani dengan baik.
Pada saat bersamaan, mobiitas masyarakat berangsur normal sehingga menggugah mesin ekonomi yang tertidur sejak 2020 silam.
“PPN atas konsumsi dalam negeri meningkat karena aktivitas ekonomi yang kembali normal,” kata Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono kepada Bisnis, Kamis (2/6).
Selain memotret pemulihan daya beli, realisasi penerimaan PPN yang cukup prima ini sekaligus menepis kekhawatiran banyak kalangan terkait dengan tekanan yang ditimbulkan akibat kenaikan tarif.
Seperti diketahui, per April lalu pemerintah menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 11% yang dilegalisasi melalui UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Bisnis menghitung, pada bulan pertama implementasi tarif baru itu penerimaan PPN mencapai Rp61,97 triliun, dan merupakan capaian tertinggi sepanjang tahun berjalan.
Secara berturut-turut, penerimaan PPN pada Januari 2022 senilai Rp38,43 triliun, kemudian Rp35,77 triliun pada Februari, dan Rp55,95 triliun pada bulan berikutnya.
Salah satu faktor pendorong penerimaan pajak jenis ini adalah momentum Ramadan dan Lebaran, yang secara historis konsumsi masyarakat meningkat amat tajam. Meskipun, pada periode ini mayoritas harga barang di pasaran melonjak.
Kenaikan tarif PPN juga terbukti tak terlalu signifikan dalam mengatrol laju inflasi. Musababnya, pemangku kebijakan telah melakukan antisipasi dini.
Sekadar mengingatkan, inflasi di Indonesia amat ditentukan oleh pergerakan harga kebutuhan pokok. Akan tetapi, UU HPP memberikan fasilitas pengecualian dalam kebijakan baru PPN.
“Jadi kenaikan tarif tak akan berdampak pada beban pajak atas barang-barang kebutuhan pokok,” kata Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar.
PENCAPAIAN TARGET
Lantaran impak pada tekanan daya beli yang tak signifikan, hampir dipastikan kebijakan baru PPN akan memuluskan langkah pemerintah dalam menggapai target baru penerimaan pajak pada tahun ini, yakni Rp1.450 triliun—Rp1.485 triliun.
Kalangan pemerhati pajak dan pelaku usaha memperkirakan tarif baru bakal menambah potensi penerimaan PPN di kisaran Rp41 triliun—Rp42 triliun pada tahun ini.
Kementerian Keuangan bahkan mengestimasi, potensi penambahan penerimaan dari kenaikan tarif PPN pada tahun ini sekitar Rp55 triliun, dengan asumsi tingkat konsumsi masyarakat pada tahun ini tidak jauh berbeda dibandingkan dengan tahun lalu.
Ketua Bidang Kajian Akuntansi dan Perpajakan Asosiasi Emiten Indonesia Ajib Hamdani memprediksi, potensi pundi-pundi kas negara bisa bertambah di kisaran Rp41 triliun.
Angka potensi itu didapat dari kenaikan selisih 10% selama 9 bulan, dan dengan asumsi secara ekonomi barang dan jasa kena pajak bersifat ceteris paribus atau sama dengan kondisi tahun lalu.
“Itu adalah angka yang sangat signifikan dalam menambah arus kas masuk,” kata Ajib.
Menurutnya, pajak atas konsumsi memang menjadi tumpuan baru bagi pemerintah dan diproyeksikan sebagai penyetor utama penerimaan negara menggantikan pajak atas penghasilan atau PPh.
Terlebih, konsumsi telah terbukti mampu bangkit lebih cepat dibandingkan dengan geliat bisnis atau penghasilan yang diperoleh wajib pajak.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal menegaskan, prestasi dalam mendulang penerimaan pada tahun ini mencerminkan bahwa kondisi ekonomi telah sepenuhnya membaik.
Pelonggaran Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) juga menjadi katalis positif baik bagi dunia usaha maupun konsumen.
“Ini merupakan cerminan kita betapa ekonomi sudah mulai membai. Karena penerimaan juga didorong dari sektor-sektor selain komoditas,” ujarnya.
Konsumsi merupakan fondasi dari ekonomi. Sektor ini menjadi kontributor utama produk domestik bruto (PDB) sejak bertahun-tahun silam.
Maka daya beli wajib dijaga. Moncernya konsumsi hingga hari ini patut dipertahankan untuk mewujudkan pemulihan yang merata serta menguatkan fiskal negara.