Tarif PPN 12% Berpotensi Memperburuk Tingkat Kemiskinan Hingga Kerek Inflasi

18 November 2024

Senin, 18 November 2024

KONTA.CO.ID – JAKARTA. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menilai, kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang mulai berlaku pada 1 Januari 2025 mendatang akan memperburuk tingkat kemiskinan dan memperlebar kesenjangan sosial, hingga bisa mengerek inflasi.

Sebagaimana yang sudah diketahui, pemerintah memastikan kebijakan penyesuaian tarif PPN akan berlaku menjadi 12% pada tahun 2025 sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Merajuk pada Laporan Seri Analisis Makroekonommi Indonesia Economic Outlook 2025 oleh LPEM FEB UI, disebutkan sebagai pajak yang langsung diterapkan pada barang dan jasa, PPN dapat berisiko memperburuk tekanan inflasi.

Tarif PPN yang lebih tinggi biasanya mengakibatkan kenaikan harga barang dan jasa secara langsung, sehingga meningkatkan biaya hidup secara keseluruhan.

Efek ini juga dinilai dapat menjadi tantangan bagi rumah tangga berpenghasilan rendah, yang mungkin mengalami penurunan daya beli, sehingga mengarah pada penurunan pengeluaran dan konsumsi konsumen secara keseluruhan.

 

Disamping itu, LPEM FEB UI juga melihat, efek distribusi dari kenaikan PPN tersebut dapat membebani rumah tangga berpenghasilan rendah secara tidak proporsional.

“Meskipun masyarakat berpenghasilan rendah membelanjakan sebagian kecil dari pendapatan mereka untuk barang dan jasa yang dikenai pajak, pengalaman terbaru di Indonesia menunjukkan bahwa kenaikan biaya hidup akan sangat membebani rumah tangga ini,” tulis laporan tersebut, dikutip Senin (18/11).

Melihat kondisi tersebut, skenario terburuknya, dengan kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada tahun depan maka dapat memperburuk tingkat kemiskinan dan memperlebar kesenjangan sosial. Kenaikan tarif PPN juga dinilai bisa mendorong lebih banyak orang ke bawah garis kemiskinan dan semakin membebani kelompok kelompok rentan.

Disamping itu, LPEM FEB UI juga menilai, kenaikan tarif PPN juga akan berdampak terhadap daya saing yang perlu menjadi perhatian, terutama di sektor-sektor seperti pariwisata.

“Kenaikan tarif PPN dapat menghalangi pengunjung internasional yang menganggap Indonesia kurang hemat biaya dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang memiliki tarif pajak yang lebih rendah,” tulis laporan tersebut.

Adapun situasi ini juga dapat mempengaruhi investasi asing, karena investor sering mencari daerah dengan lingkungan pajak yang lebih menguntungkan. Selain itu, peningkatan biaya produksi yang terkait dengan PPN yang lebih tinggi dapat mengurangi daya saing ekspor Indonesia di pasar global.

Lebih lanjut, LPEM FEB UI melihat tantangan implementasi juga perlu diperhatikan pemerintah dengan adanya kenaikan tarif PPN ini.

Kenaikan dinilai PPN dapat menyebabkan peningkatan tax avoidance atau tax evasion, terutama di sektor-sektor yang memiliki tingkat informalitas yang tinggi atau pengawasan yang terbatas.

Risiko ini dinilai bisa mengancam melemahkan tujuan pendapatan pemerintah dan mempersulit upaya penegakan hukum, sehingga berpotensi mengimbangi manfaat yang diharapkan dari kenaikan tarif PPN.