Warga RI Mulai Sulit Belanja, Kenaikan PPN Jadi 12% Harus Ditunda!

10 July 2024

Arrijal Rachman, CNBC Indonesia

10 July 2024

CNBC Indonesia – Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari saat ini 11% menjadi 12% pada 2025 sesuai Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) harus ditunda. Bila tak ingin daya beli masyarakat makin melemah.

Hal ini diungkapkan oleh sejumlah kalangan ekonom, yang menganggap daya beli masyarakat saat ini tengah ambruk. Tercermin dari berbagai data setoran pajak yang jatuh, mulai dari Pajak Pertambahan Nilai Dalam Negeri atau PPN DN hingga pemasukan pajak dari industri perdagangan.

Sektor industri perdagangan yang memiliki porsi 24,79%, dari total setoran pajak nilainya hanya sebesar Rp 211,09 triliun atau turun 0,8% secara neto per Semester I-2024, padahal pada periode yang sama tahun lalu masih tumbuh 7,3%.

Sementara itu, Pajak Pertambahan Nilai Dalam Negeri atau PPN DN juga terkontraksi 11% secara neto dengan realisasi Rp 193,06 triliun. Porsi setoran PPN DN terhadap total penerimaan mencapai 21,60% atau menjadi yang terbesar di antara jenis pajak lainnya.

“Dengan asumsi indikasi pelemahan daya beli terjadi sampai dengan awal tahun depan, maka sudah seharusnya pemerintah mempertimbangkan untuk menunda sementara waktu penetapan tarif PPN yang baru,” ucap Ekonom dari Center of reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet kepada CNBC Indonesia, Rabu (10/7/2024).

Yusuf mengatakan, yang perlu dilakukan pemerintah saat ini ialah melakukan penyesuaian dari sisi belanja mengingat asumsi yang disusun dari APBN di sisi belanja juga mempertimbangkan kondisi ataupun kinerja dari sisi penerimaan.

“Sehingga akan ada potensi pemerintah harus melakukan realokasi belanja terutama kepada pos yang dianggap masih bisa ditunda atau belum diperlukan di tahun depan,” tegasnya.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan mengatakan, naiknya PPN pada tahun depan juga sebetulnya akan memberi dampak buruk secara sistematis terhadap perekonomian Indonesia. Terutama mengurangnya likuditas di dalam negeri karena daya beli rendah dan tingkat bunga acuan tengah tinggi di level 6,25%.

“Kalau misalnya di ini naik lagi itu ekonomi masyarakat akan terpukul karena gini ini kan kalau misalnya PPN dinaikkan 2025. Jadi ini antara fiskal dan moneter sama-sama lakukan pengetatan kebijakan,” ungkap Abdul Manap.

“Ini bahaya terhadap ekonomi likuditasnya akan mengering. Bedakan antara likuditas perekonomian dan likuiditas perbankan, kalau seperti itu nanti aktivitas ekonominya akan melambat, target pertumbuhan Itu akan susah dicapai dan itu dampaknya panjang bukan hanya terhadap tenaga pekerja segala macam tapi juga penerimaan negara sendiri,” tegasnya.

Anjloknya daya beli masyarakat itu menurutnya juga sebetulnya tercermin dari data inflasi inti yang sangat rendah. Inflasi inti pada Juni 2024 tercatat sebesar 0,10% (mtm), lebih rendah dari inflasi pada bulan sebelumnya sebesar 0,17% (mtm).

“Inflasi intinya kan sangat rendah, BI itu menargetkan 2 plus minus 1 persen itu inflasi intinya masih di bawah 2%. Artinya kalau itu rendah, daya beli itu belum membaik tidak ada dorongan yang menyebabkan daya beli itu membaik sehingga konsumsi itu akan melambat,” tuturnya.

Pakar Pajak yang merupakan Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono pun menyarankan kepada pemerintah, di tengah lesunya daya beli masyarakat, pemerintah masih bisa mengerek penerimaan pajak dengan mekanisme khusus. Yaitu intensifikasi melalui penerbitan surat cinta berupa SP2DK atau Surat Permintaan Penjelasan atas Data atau Keterangan.

“Melalui SP2DK tersebut, KPP kan bisa mendapatkan tambahan penerimaan pajak karena ada pembetulan SPT (Surat Pemberitahuan) oleh WP (Wajib Pajak). Hasil pembetulan SPT tersebut adalah ada setoran pajak tambahan di 2024,” ungkapnya.

Langkah ini bisa dilakukan mengingat dampak lanjut dari penurunan daya beli adalah penurunan penjualan dan laba perusahaan. Sebagai konsekuensinya, perusahaan punya hak untuk mengajukan pengurangan angsuran PPh Pasal 25 di 2024 ini.

Untuk syarat permohonan pengurangan angsuran PPh 25, perusahaan membuat proyeksi laba rugi hingga akhir tahun 2024. Jika berdasarkan proyeksi tersebut, proyeksi PPh badan 2024 < 75% dari PPh badan 2023, perusahaan berhak mendapatkan pengurangan angsuran PPh 25.

“Kalau diliat dari kondisi penurunan PPh 25 itu kan berimbas pada penurunan penerimaan pajak di kas negara. Dengan demikian, pemerintah harus mencari potensi penerimaan pajak dari tahun pajak antara 2020-2023,” ujar Prianto.

Ia mengakui, pemerintah memang membutuhkan pemasukan pajak yang lebih besar lagi guna menggenjot rasio pajak. Dengan kenaikan rasio pajak, pemerintah punya keleluasaan lebih besar untuk alokasi pembiayaan pembangunan di tengah lemahnya daya beli masyarakat.

Salah satu caranya adalah dengan menaikkan tarif PPN sesuai penetapan di UU PPN yang hasil revisi UU HPP. Selain itu, pemerintah juga harus terus berupaya untuk menjaga ketahanan atau resiliensi perekonomian domestik. Salah satunya yg bisa ditempuh adalah pemberian insentif pajak ditanggung pemerintah.

“Jadi, menaikkan tarif PPN dan upaya menjaga ketahanan ekonomi bisa dilaksanakan secara simultan,” kata Prianto.